Selasa, 24 September 2013

METODE QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM



METODE QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM
A.    PENDAHULUAN
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam[1][1] tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya[2][2]. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “langage games[3][3] yang berbeda.
Islam di tengah – tengah kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya dari manusia sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku yang sudah tidak bisa di interpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari posisi fleksibilitasnya (flexible – position), selama demikian ini tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam[4][4]. Oleh karena itu interpretasi terhadap perkembangan iptek serta problema umat dalam realitas sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum islam merupakan keperluan yang tidak dapat di tawar – tawar lagi.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur'an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas  atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya[5][5], serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Permasalahan qiyas  dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam lapangan ilmu hukum menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan diantara para ulama. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Daud al-Dzahiri tidak mau mengakui qiyas  apalagi menerima atau menggunakannya. Sedang di kalangan ulama – ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syari’at[6][6].
Al’alamah Ibn Hazm Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm bin Gholid bin Khalaf bin said bin Sufyan bin Yazid (384 – 456 H / 994 – 1064) yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, tidak mungkin ada masalah yang tidak ada jawabannya di dalam nash. Al-Qur'an menegaskan :”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikitpun” (QS. Al-An’am (6) : 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS. Al-Maidah (5) : 3), “kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu “ (QS. Al-Nahl (16) : 89)[7][7].
Dari elaborasi diatas ternyata eksistensi qiyas  masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang qiyas  dalam perspektif historis metodollogis istinbath hukum Islam.
B.   Qiyas : Perspektif Ulama Fiqih
 1. Pengertian Qiyas
  Secara bahasa qiyas  berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya yang  berarti “saya mengukur baju dengan hasta[8][11]
Pengertian qiyas  secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas  adalah : Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah[9][12] mendefinisikan qiyas  dengan : Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas  dengan [10][13] : “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas  bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya[11][14]. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
·      Ashl
·      Far’u
·      Illat
·      Hukum ashl



2. Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas  dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas  bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’[12][15].
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1.     Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2.     Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas  menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas  sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas  sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
Surat al-Hujurat, 49 : 1
 “Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an  dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas  merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas  dilarang untuk diamalkan.
Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
 Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat al-Hasyr, 59 : 2
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas  yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas  adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
Surat al-Baqarah 2 : 222 :
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
Surat al-Maidah 5:6
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
            Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata : “Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
BUNGA BANK KONVENSIONAL MENURUT HUKUM ISLAM
A.    Pendapat Yang Mengharamkan Bank Konvensional
Jumhur (mayoritas) ulama mengharamkan bank konvensional karena adanya praktek bunga bank yang secara prinsip sama persis dengan riba. Baik itu bunga pinjaman, bunga tabungan atau bunga deposito.
B.     Praktik Perbankan Yang Diharamkan
Praktik perbankan konvensional yang haram adalah: (a) menerima tabungan dengan imbalan bunga, yang kemudian dipakai untuk dana kredit perbankan dengan bunga berlipat. (b) memberikan kredit dengan bunga yang ditentukan; (c) segala praktik hutang piutang yang mensyaratkan bunga. Bagi ulama yang mengharamkan sistem perbankan nasional, bunga bank adalah riba. Dan karena itu haram
C.    Praktik Bank Konvensional Yang Halal
Namun demikian, pendapat yang mengharamkan tidak menafikan adanya sejumlah layanan perbankan yang halal seperti: (a) layanan transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman; (b) menerbitkan kartu ATM; (c) menyewakan lemari besi; (d) mempermudah hubungan antarnegara.
D.    Ulama Dan Lembaga Yang Mengharamkan Bank Konvensional

1.      Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
2.      Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
3.      Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab 1406
4.      Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
5.      Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
6.      Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965
7.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah
8.      Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa sistem perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah Islam.
9.      Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
10.  Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
E.      Hukum Bekerja Dan Gaji Pegawai Bank Konvensional
Menurut fatwa Syekh Jad al-Haq, salah satu Mufti Mesir, memperoleh gaji/honorarium dari bank-bank tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensiobnal itu melakukan transaksi riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih dapat dibenarkan, selama bank tersebut mempunyai aktivitas lain yang sifatnya halal.
F.      Pendapat Halalnya Bank Konvensional
Beberapa alasan para ulama ahli fiqih yang menghalalkan bank konvensional adalah (a) bunga bank bukanlah riba yang dilarang seperti yang disebut dalam Quran dan hadits; (b) riba adalah bunga yang berlipat ganda; sedang bunga pinjaman bank tidaklah demikian.
G.  Ulama Dan Lembaga Yang Menghalalkan Bank Konvensional
1.      Syekh Al-Azhar Sayyid Muhammad Thanthawi menilai bunga bank bukan riba dan  halal.
2.      Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan
3.      Keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002 membahas soal bank konvensional.
4.      A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal.
5.      Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV berpendapat bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal.
H. Alasan Ulama Dan Lembaga Yang Menghalalkan Bank Konvensional
1.      Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi bank konvensional/deposito itu halal dalam berbagai bentuknya walau dengan penentuan bunga terlebih dahulu.
Menurutnya, di samping penentuan tersebut menghalangi adanya perselisihan atau penipuan di kemudian hari, juga karena penetuan bunga dilakukan setelah perhitungan yang teliti, dan terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan mereka.
2.      Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.”
3.      Isi  keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002: "Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut.
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu. (QS. an-Nisa': 29).
Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu. Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
KESIMPULAN HUKUM BANK KONVENSIONAL DALAM ISLAM
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankkan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankkan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.

Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.