PEMIKIRAN FILSAFAT
ABU BAKAR MUHAMMAD BIN ZAKARIA AL-RAZI
A.
Pendahuluan
Dunia
pendidikan Islam pada umumnya masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai
dari soal rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tuntutan
masyarakat, sampai pada persoalan metode, kurikulum dan lain sebagainya. Selain
itu kenyataan juga menunjukkan ada kiblat pendidikan Islam
yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan bentuknya
yang khas sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Hoodbhoy (1996:202) menilai bahwa
yang paling bertanggung jawab atas keadaan yang menyedihkan di dunia Islam
adalah ortodoksi dan fundamentalisme. Ia mencatat sekurangnya ada enam hal yang
menjadi penyebab kelemahan etos keilmuan tersebut, yakni sikap dan pandangan
filsafat, konsep pendidikan, konsekuensi dari sifat khusus hukum Islam,
kelemahan formasi sosio-ekonomi, serta sebab-sebab yang berasal dari karakter
khusus politik Islam.
Upaya pembangunan kembali etos
keilmuan umat melalui sektor pendidikan dapat dilakukan dengan perumusan
konsep-konsep pendidikan dengan berlandaskan filsafat yang menjamin
perkembangan dinamika dan kreatifitas. Hal ini dimungkinkan mengingat
pendidikan bukan semata-mata persoalan didaktik-metodik. Permasalahan
pendidikan jauh lebih luas dari pada sekedar teknik belajar mengajar di
sekolah. Pemahaman dasar-dasar pemikiran yang melandasi penyelenggaraan
aktifitas pendidikan sangat diperlukan dalam rangka penjernihan konsep dan ilmu
pendidikan. Di samping itu pendidikan sendiri tidak dapat dilepaskan dari
filsafat yang melandasinya.
Upaya untuk memperbaiki kondisi
pendidikan yang demikian tampaknya perlu dilacak pada akar permasalahannya yang
bertumpu pada pemikiran filosofis. Diketahui bahwa secara umum, filsafat
berupaya menjelaskan inti atau hakekat dari segala yang ada, dan karenanya ia
menjadi induk segala ilmu.
Ada dua pola yang biasa dilakukan
dalam membangun konsep pendidikan di dunia Islam. Pertama, dengan
mengkaji kembali warisan pemikiran tokoh-tokoh muslim masa silam, dan kedua,
mengadopsi konsep-konsep baru yang sudah berkembang saat ini, khususnya di
Barat (Husain, 1994:12).
Tanpa bermaksud mengabaikan
kelebihan dan kekurangan masing-masing pola tersebut, kajian pada makalah ini
menekankan pada pola yang pertama, dengan harapan dapat mengaktualisasikan
kembali gagasan pemikir muslim terdahulu yang hampir tersisih dari percaturan
intelektual umat Islam.
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya
Al-Razi, yang selanjutnya disebut dengan Al-Razi adalah seorang ilmuwan muslim
yang memiliki profesi sebagai seorang dokter, dosen, fisikawan, kimiawan,
sekaligus seorang filosof (Supriyadi, 2009:68). Di bidang filsafat ar-Razi
memiliki pemikiran yang sangat orisinil dan mandiri, yang dalam beberapa hal
berbeda dari alur pemikiran kebanyakan ulama muslim pada masanya. Para filosof
dan pemikir muslim pada umumnya berusaha menyelaraskan pemikirannya dengan
agama, sementara ar-Razi dikenal sebagai sosok yang memilih jalan
filsafat untuk mendekati berbagai persoalan, termasuk persoalan keagamaan
(Amien, 1983:46).
Secara teoritis, filsafat Al-Razi
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai landasan yang dapat melahirkan
pemikiran-pemikiran baru di bidang pendidikan. Pola yang dapat ditempuh adalah
dengan menjadikannya sebagai pijakan dalam memahami persoalan-persoalan
mendasar dalam pendidikan, mengingat ada kenyataan bahwa problem-problem utama
filsafat juga merupakan problem utama pendidikan.
Dalam hal ini filsafat Al-Razi harus
diposisikan sebagai pandangan hidup (way of life) atau pandangan dunia (world
view) yang memuat konsep-konsep pemikiran tentang dasar realitas atau
kebenaran yang diyakini dan ditempatkan sebagai realitas yang senyatanya.
Pemahaman atas realitas mendasari rumusan tentang cita-cita ideal kehidupan
sebagai bagian dari tujuan hidup yang diharapkan adanya. Nilai-nilai kebenaran
yang diyakini diupayakan dapat ditanamkan dalam kehidupan kemasyarakatan, baik
dalam tatanan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, maupun berbagai aspek
kehidupan lainnya melalui berbagai cara, di antaranya melalui proses
pendidikan.
Secara fungsional filsafat Al-Razi
juga dapat dijadikan dasar perumusan teori-teori pendidikan yang lebih
spesifik. Pemikiran Al-Razi yang mengkaji hal-hal di balik dunia fisik
memberikan bekal pemahaman tentang hakekat, makna dan tujuan hidup, yang
menjadi bagian integral dari tujuan pendidikan.
Filsafat Al-Razi juga memberikan
bekal pemahaman tentang hakekat manusia, yang membantu pemahaman
potensi-potensi psikis. Di dunia pendidikan, pemahaman
kejiwaan
penting artinya untuk dapat memberi perlakuan yang tepat terhadap subyek didik
dalam proses pendidikan.
Pemikiran epistemologi Al-Razi
memberi gambaran tentang sumber, metodologi serta jenis pengetahuan, termasuk
sistem nilai yang harus diajarkan. Hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi
substansi pendidikan ditentukan oleh pandangan epistemologi yang digunakan.
Karena itu pandangan ini terkait dengan filsafat moral yang menyajikan konsep
kebenaran berkenaan dengan tata nilai, sebab dalam tataran praktis ilmu tidak
dapat dilepaskan dari nilai.
Makalah ini ditulis untuk membahas
dan memahami tentang biografi Al-Razi, karya-karya Al-Razi, dan filsafat
Al-Razi.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Al-Razi
Nama lengkap
Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi (Dahlan, 2002:182).
Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313
H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di
Rayy, dekat Teheran (pen: Iran) sekarang (Supriyadi, 2009:68). Al-Razi
mempunyai hubungan darah dengan bangsa Parsi (Iran) dan lahir di zaman kejayaan
Abbasiyah (Amien, 1983:46)
Al-Razi
belajar ilmu kedokteran kepada Ali ibn Rabban Ath-Thabari. Al-Razi belajar
filsafat kepada Al-Balkhi. Al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan
perjalanan, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan
bahwa Al-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat Al-Balkhi
(Syarif, 1993:34).
Di
kota kelahirannya, Al-Razi terkenal sebagai dokter. Karena itu, ia memimpin
sebuah rumah sakit di Rayy, ketika Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Azad menjadi
Gubernur Rayy, dari tahun 290-296H/902-908M (Hadi, 2003:13)
Al-Razi
merupakan seorang dokter yang memiliki jiwa dan pikiran yang didasarkan pada
filsafat. Perpaduan filsafat dan kedokteran menjadikan kualitas keilmuan
Al-Razi memiliki nilai plus dibanding para pendahulunya (Supriyadi, 2009:71)
2.
Karya-Karya
Ar-Razi
Al-Razi
banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim,
dan alkemi (Hadi, 2003:14) Buku-buku Al-Razi menurut Ibn An-Nadim (dalam
Syarif, 1993:36) adalah 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu
makalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Ibn Abi Usaibi’ah menyebutkan 236
karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas pengarangnya.
Buku-buku
Al-Razi yang banyak jumlahnya dikolompokkan menjadi:
a. ilmu kedokteran,
b.
ilmu fisika,
c.
logika,
d.
matematika
dan astronomi,
e.
komentar,
ringkasan, dan ikhtisar,
f.
filsafat dan
ilmu pengetahuan hipotesis,
g.
metafisika,
h.
teologi,
i.
alkimia,
j.
ateisme, dan
k.
campuran
(Supriyadi, 2009:72)
Adapun
karya-karya Ar-Razi yang masih dapat dinikmati sampai sekarang meskipun
buku-buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang lain
adalah:
a. Al-Tibb al-Ruhani,
b.
Al-Shirath
al-Falasafiyah,
c.
Amarat Iqbal
al Daulah,
d.
Kitab
al-ladzdzah,
e.
Kitab al Ibnu
al Ilahi,
f.
Makalah fi
mabadd altalbiah,
g.
Al Syukur
’Ala Proclas (Mustofa, 2000:117)
Menurut
Supriyadi (2009:72) di antara buku Al-Razi yang dapat disebutkan sebagai
berikut:
a.
Ath-Thib
Ar-Ruhani,
b.
Ash-Shirat
Al-Falsafiyyah,
c.
Amarat Iqbal
Ad-Daulah,
d.
Kitab Al-Ladzdzah,
e.
Kitab Al-Ilm
Al-Ilahi,
f.
Maqalah fi
Ma’bad Ath-Thabi’ah,
g.
Al-Hawi fi
Ath-Thibb,
h.
Manshiri,
i.
Kitab Sirr
Al-Asrar,
j.
Muluki, dan
k.
Kitab
Al-Jami Al-Kabir.
3.
Filsafat
Al-Razi
Filsafat
Al-Razi meliputi: filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, filsafat moral
(Supriyadi, 2009:73-80)
a.
Filsafat
Lima Kekal
Lima ajaran
kekal Al-Razi menurut Nasution (2008:18) adalah: (1) Materi, merupakan apa yang
ditangkap dengan panca indera tentang benda, (2) Ruang, karena materi mengambil
tempat, (3) Waktu, karena materi berubah-ubah keadaannya, (4) Di antara
benda-benda ada yang hidup, karena itu perlu ada ruh, (5) Semua ini perlu pada
Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Menurut
Ali (t-th: 37) ajaran lima kekal Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala,
Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah,
Jiwa Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan
kebebasan yang hakiki. (3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari
padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang
mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom
tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa, dan api.(4) Al-Makanul-Mutlaq,
ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.(5) Az-Zamanul-
Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
1)
Al-Bari
Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
Tuhan
bersifat sempurna. Tidak ada kebijakan setelah tidak sengaja, karena itu
ketidaksengajaan tidak bersifat kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya
sebagaimana sinar datang dari matahari Tuhan mempunyai kepandaian yang sempurna
dan murni. Kehidupan ini adalah mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan sesuatu
dan tidak ada yang bisa menandingi dan tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya.
Tuhan Maha Mengetahui, segala sesuatu. Tetapi ruh-ruh hanya mengetahui apa yang
berasal dari eksperimen. Tuhan mengetahui bahwa ruh cenderung pada materi dan
membutuhkan kesenangan materi.
2)
An-Nafsul-
Kulliyah, Jiwa universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai
suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
Tuhan tidak
menciptakan dunia lewat desakan apapun tetapi Tuhan memutuskan penciptaan-Nya
setelah pada mulanya tidak berkehendak tidak menciptakannya, Tuhan menciptakan
manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya, bahwa dunia ini
bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki. Manusia tidak akan mencapai
dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat, mereka mempelajari filsafat,
mengetahui dunia hakiki, memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan
buruknya. Ruh-ruh tetap berada dalam dunia ini sampai mereka disadarkan oleh
filsafat akan rahasia dirinya. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia
yang sebenarnya, dunia sejati atau dunia hakiki.
3)
Al-Hayulal-Ula, materi
pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia.
Menurut
Ar-Razi kemutlakan, materi pertama terdiri dari atom-atom, setiap atom
mempunyai volum yang dapat dibentuk. Dan apabila dunia ini dihancurkan, maka ia
akan terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian materi berasal dari
kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan suatu yang berasal dari ketiadaan
sesuatu.
4)
Al-Makanul-Mutlaq,
ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Menurut
Ar-Razi ruang adalah tempat keadaan materi, beliau mengatakan bahwa materi
adalah kekal dan karena materi itu mempunyai ruang yang kekal. Bagi Ar-Razi
ruang terbagi menjadi dua yakni waktu universal (mutlak) dan waktu tertentu
(relatif ), ruang universal adalah tidak terbatas dan tidak tergantung pada
dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, sedangkan ruang yang relatif
adalah sebaliknya.
5)
Az-Zamanul-
Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Waktu adalah
subtansi yang mengalir, ia adalah kekal. Ar-Razi membagi waktu dua macam yakni
waktu mutlak dan waktu relatif (terbatas). Waktu mutlak adalah keberlangsungan,
ia kekal dan bergerak. Sedang gerak relatif adalah gerak lingkungan-lingkungan,
matahari dan bintang gemintang.
Filsafat
lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di balik dunia fana
terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang
Mutlak yakni ruh tersebut menjelma pada alam, di mana ruh mempunyai
inti yang disebut ide atau berpikir, berupa kekuatan akal yang dipandang
sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi. Karena itu
kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.
Doktrin
lima hal yang kekal (al-Qudama al-khamsah) yang menyajikan beberapa
kajian tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki
implikasi luas guna dikembangkan sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi.
Pemahaman
atas alam seisinya sebagai makrokosmos berarti memandang semesta sebagai
kesatuan kosmis, sementara manusia sebagai individu yang terdiri dari jasmani
dan rohani ditempatkan sebagai mikrokosmos, fakta tunggal yang menjadi bagian
tak terpisahkan dari keseluruhan sistem semesta. Pemahaman keduanya mendasari
pemahaman mengenai asal-usul dan arah ke mana tujuan kehidupan akan menuju.
Pemahaman masalah ini selanjutnya mendasari penentuan sikap dalam menyikpai
kehidupan ini.
Filsafat
Al-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas hakekat
Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya
mencerminkan sebuah pandangan teologis tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi
ruang semesta membentang sangat luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan
sentralnya. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak
terbatas. Kekuasaan Tuhan tidak terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak
(iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam
dari substansi sederhana menjadi substansi yang terbentuk, kemudian dengan
pancaran kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam. Kehendak
Tuhan untuk mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan
dinamika gerak dan keteraturan hukum alam (sunnatullah).
Manusia
pada hakekatnya hanyalah kehidupan yang sangat terbatas (mikrokosmos), sekedar
bentukan dari materi dan ruh yang menempati ruang terbatas di tengah
ketidakterbatasan ruang dan waktu. Pada saatnya unsur materi pada manusia,
berupa jasad (fisik) akan hancur, kembali pada materi awal, sementara ruh yang
menjadi esensi jati diri manusia akan kembali pada keabadiannya semula.
Seluruh
penciptaan ini ditujukan untuk kemaslahatan ruh yang telah dibantu bersemayam
di alam materi dalam wujud manusia. Bagi manusia, perpindahan ruh dari
kehampaan ruang tak terbatas ke dalam materi yang tertentu merupakan suatu
proses penyadaran (pendidikan) dari kebodohan yang telah memalingkan dari jalan
kebenaran dan kebahagiaan (as-sa’adah) hakiki kepada kesenangan (al-ladzdzah)
sesaat.
Keterjebakan
jiwa pada materi merupakan akibat ketidaktahuannya atas hakekat kebahagian
sejati, yang karenanya Tuhan menganugerahkan jiwa rasional yang terpancar dari
jiwa universal-Nya, sehingga memungkinkan manusia belajar mengetahui hakekat
kehidupan, dirinya, kebahagiaan, serta keharusan meningkatkan potensi diri.
Keterjebakan tersebut di sisi lain juga memberi kesempatan ruh untuk belajar
melalui pengalaman. Karena itu dapat dikatakan bahwa kehendak Tuhan untuk
menciptakan kehidupan ini tidak sia-sia (ma khalakta hadza bathila),
tetapi sebagai kesempatan untuk belajar hingga manusia dapat memperoleh
kebahagiaan hakiki.
Hidup
merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan menuju kebahagiaan
sejati melalui proses belajar. Untuk sampai pada kebahagiaan sejati perlu
didahului dengan proses penyadaran atas hakekat diri dan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang tidak didahului proses penyadaran berarti kebahagiaan dalam
ketidaktahuan atau kebodohan, yang berpotensi menjerumuskan ke arah
penyimpangan, seperti halnya jiwa yang bodoh tertarik pada meteri.
Filsafat
Al-Razi mengarahkan kehidupan untuk mencari kebahagiaan hakiki, yang dapat
diperoleh dengan cara membebaskan ruh dari jeratan materi. Kebahagiaan yang ada
dalam kehidupan dunia bukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi hanya
kebahagiaan yang semu, bahkan diwarnai dengan rasa sakit dan penderitaan. Namun
demikian ar-Razi menilai hidup bukan suatu kesia-siaan, melainkan sebuah
kesempatan yang sangat berharga. Kebahagiaan akhirat yakni keterbebasan jiwa
dari pengaruh materi dapat diperoleh dengan pengembangan akal secara optimal.
Untuk itu diperlukan dukungan rasa yang sehat, di mana seluruh pekerjaan tubuh
memperoleh porsi perhatian yang cukup, hingga masing-masing dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Upaya
yang dapat ditempuh adalah dengan perlakuan masing-masing unsur jiwa
secara seimbang. Ini berarti ada keterkaitan dengan cara hidup yang tepat.
Al-Razi menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan.
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pandai, Maha Adil dan Maha Pengasih, yang
sifat-sifat-Nya harus ditiru manusia. Manusia dituntut belajar agar menjadi
pandai, mampu bersikap adil dan bijaksana terhadap diri sendiri maupun
lingkungan sekitarnya, serta penuh kasih sayang terhadap sesama. Al-Razi
mencela kehidupan kaum hedonis yang hanya memperturutkan hawa nafsu, sekaligus
mencela para rahib dan agamawan yang memilih jalan penyerahan diri secara total
dengan cara lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ibadah, serta mengabaikan
tuntutan hidup yang lain (Iqbal, 2003:79).
Kehidupan
ideal didasarkan pada pertimbangan kesehatan jiwa dan raga sebagai standar
idealitas kehidupan. Untuk itu manusia berkewajiban memelihara karunia Tuhan
berupa fisik dan psikis dengan perlakuan seimbang. Keseimbangan diri manusia
itulah yang nantinya membentuk pribadi paripurna, yang tercermin dalam perilaku
kehidupannya sehari-hari. Keberhasilan individu dalam melakukan kontrol
pribadinya berarti berhasil menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial
kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam hal ini akal memainkan beberapa fungsi: pertama,
mencari dan menemukan kebenaran hingga mampu menentukan baik buruk tata nilai
yang ada, sekaligus berperan sebagai alat kontrol pribadi agar dapat
menyesuaikan diri dengan tata nilai atau kebenaran yang diyakini. Kedua,
akal berperan dalam mengembangkan ilmu dan menciptakan berbagai perabot
(teknologi) untuk memudahkan dalam memenuhi hajat kehidupannya.
Prinsip
keseimbangan juga menjadi landasan dalam tata pergaulan kemasyarakatan, di mana
demi kebaikan bersama antar anggota masyarakat perlu dijalin hubungan saling
menguntungkan dengan cara saling membantu dan bekerja sama. Karena itu
kehidupan ideal menuntut keadilan dalam kerja sama kemasyarakatan. Adalah tidak
layak bila seseorang harus membayar terlalu mahal untuk sebuah jasa, karena hal
itu berarti kerugian di satu pihak, dan sebaliknya pelayanan terlalu besar
dibanding imbalan sama halnya dengan perbudakan.
b.
Filsafat
Rasionalis
Nasution
(2008:25) mengatakan bahwa Al-Razi adalah seorang filsuf yang berani
mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang bertentangan dengan paham yang dianut
umat Islam, seperti tidak percaya wahyu; Al-Qur’an bukan mukjizat; tidak
percaya nabi-nabi; tidak percaya adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Al-Razi
adalah seorang rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal karena Al-Razi
masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan (Supriyadi,
2009:77)
Rasionalis
Al-Razi terhadap akal tampak dalam perkataannya:
Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang
telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh sebanyak-banyak
manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat
segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal,
kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita...
dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu
pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.... Jika akal sedemikian mulia
dan penting, kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya,
sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia
adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita
harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya;
kita harus sesuai dengan perintahnya (Al-Razi dalam Supriyadi, 2009: 76).
Pernyataan
Al-Razi tersebut menunjukkan bahwa manusia lahir dengan kemampuan yang sama
untuk meraih pengetahuan, yaitu manusia dikarunia akal. Manusia menjadi berbeda
karena perbedaan dalam menggunakan kemampuan akalnya, ada yang menggunakannya
untuk belajar, ada yang mengabaikannya, dan ada juga yang menggunakannya untuk
kehidupan praktisnya. Al-Razi merupakan rasionalis murni yang tidak menempatkan
wahyu atau intuisi mistis untuk memperoleh pengetahuan. Hanya dengan akal
logislah manusia dapat memperoleh pengetahuan dan perilaku terpuji.
Dari
perkataan Al-Razi tersebut dapat diketahui bahwa Al-Razi adalah seorang
rasionalis murni yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada
wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat
untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan
untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam pendapatnya, pada
dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul
karena berlainan suasana perkembangannya.
Para
nabi menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajaran-ajaran
mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan
benci-membenci di antara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi
peperangan agama. Walaupun demikian Al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana
Al-Razi (dalam Dahlan, 2002:185) menyatakan:
Semoga Allah
melimpahkan salawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad
dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan salawat kepada sayid kita, kekasih kita, dan
penolong kita di hari kiamat, Muhammad, semoga Allah
melimpahkan kepadanya salawat dan salam yang banyak selamanya.
Semua
agama dikritiknya. Orang tunduk agama, menurut pendapatnya, karena tradisi, kekuasaan yang
ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena tertarik
pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Al-Qur’an
baik dalam bahasa dan gaya manapun dalam isi tidak
merupakan mukjizat. Al- Razi lebih mementingkan buku-buku filsafat dan
ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Tetapi sungguhpun Al-Razi menentang agama pada umumnya,
Al-Razi bukan seorang ateis, malahan seorang
monoteis yang percaya pada keberadaan satu Tuhan, sebagai penyusun dan
pengatur alam ini (Amien, 1983:46).
Dalam
filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al- Razi memandang kesenangan manusia
sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan
meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan, ruh harus terlebih dahulu
disucikan dan yang dapat menyucikan ruh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa
hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi
Al-Razi menganjurkan
jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat
diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya
manusia jangan pula sampai tidak
makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara
diri.
Kepercayaan
Al-Razi terhadap kemampuan akal menjadikan pandangannya tentang agama juga didasarkan
pada pendekatan rasional. Ajaran-ajaran
agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang harus diterima begitu saja.
Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama didasarkan pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat.
Karena itu, Al-Razi banyak menyoroti
dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan akal sehat
maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia untuk membebaskan diri
dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi filsafat semula, yakni menemukan kebenaran
dan membebaskan manusia dari mitologi
supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.
c.
Filsafat
Moral
Al-Razi
memiliki andil yang sangat besar dalam ilmu akhlak. Al-Razi melihat kenikmatan
dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat
dikatakan sebagai kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang
ditimbulkannya. Atau dengan kata lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat
mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki
nilai tertentu (Iqbal, 2003:79).
Kebahagiaan
diartikan sebagai kembalinya sesuatu yang hilang karena kemudlaratan yang akan
diperoleh bilamana akal berhasil mengendalikan berbagai kecenderungan jiwa
secara berimbang. Keseimbangan tersebut tercermin dalam cara hidup seseorang di
lingkungan masyarakatnya yang tidak hanya mengejar kesenangan dunia (hedonis),
serta tidak menghabiskan waktu untuk kepuasan spiritual.
Prinsip
keseimbangan juga menjadi dasar tata hubungan kemasyarakatan, mengingat manusia
dipandang sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup secara layak tanpa
bantuan orang lain. Manusia hanya mampu melakukan jenis pekerjaan tertentu,
yang karenanya kehidupan antar warga masyarakat hanya dapat disempurnakan dan
diorganisasikan dengan baik melalui kemauan untuk saling menolong, bekerja
sama, serta saling setia
Adapun
pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib
al-Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti
berdasarkan pada petunjuk rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal
dan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan
melanggar ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan
raga yang pada gilirannya akan menghancurkan manusia (Hasyimsyah Nasution,
2005:20).
Nafsu
dinyatakan sebagai kecenderungan alamiah dalam diri manusia, berupa dorongan
biologis maupun psikis untuk mencari kesenangan dan kelezatan tanpa adanya
pertimbangan tentang berbagai konsekuensi yang mungkin timbul. Akal mampu
memberi jalan keluar atas berbagai persoalan, serta dapat mengangkat derajat
manusia ke tingkat yang paling agung. Akal yang bersumber pada jiwa rasional
dan Ilahiyah memberikan pertimbangan dari aspek material maupun spiritual,
sehingga menjangkau berbagai konsekuensi duniawi maupun ukhrawi.
Karena
itu kebaikan untuk kelas manusia terletak pada pengendalian nafsu hingga jiwa
yang penuh nafsu terbiasa tunduk dan mengikuti jiwa rasionalnya. Kebaikan yang
hanya didasarkan pada pemuasan kesenangan dan nafsu jasmani adalah kebaikan
untuk kelas binatang (al-bahaim). Binatang hanya memiliki kebutuhan
untuk memenuhi nafsu secara bebas tanpa tuntutan tanggung jawab atau
konsekuwensi tertentu yang harus ditanggung. Jiwa yang berkembang dalam diri
binatang hanya jiwa nafsu saja. Kelebihan fisik binatang kurang memberikan
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Karena itu kebaikan tidak
dapat didasarkan atas pemenuhan kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan
diukur dengan pemenuhan kepuasan jasmaniyah, maka binatang lebih mulia dari
pada manusia, bahkan lebih mulia dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu jasmani.
Dusta
adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang
bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta
terletak pada niat. Demikian pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada
alasan melakukannya. Bila kikiran tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin
dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu tidaklah buruk. Karena itu, harus
ada pembenaran apabila kikiran orang tersebut mempunyai alasan yang dapat
diterima, maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru
sebaliknya maka hal yang demikian haruslah diperangi. (Hasyimsyah Nasution,
2005:21).
C.
Kesimpulan
Al-Razi
mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal
sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau
320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat
Teheran sekarang.Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi,
waktu, gerak, optik, iklim, dan alkemi.
Filsafat Al-Razi meliputi filsafat
lima kekal, filsafat rasionalis, dan filsafat moral. Filsafat lima kekal
Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan
Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal. (3) Al-Hayulal-Ula,
materi pertama.(4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut.(5) Az-Zamanul-
Mutlaq, masa yang absolut. Filsafat rasional Al-Razi menunjukkan bahwa
Al-Razi adalah seorang rasionalis religius yang hanya percaya pada kekuatan
akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi berkeyakinan
bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk
tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam
pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan
timbul karena berlainan suasana perkembangannya. Filsafat Al-Razi mengajarkan
bahwa kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan.
Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena manfaatnya mengalahkan
kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata lain, kenikmatan yang
diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Kehormatan dan
kehinaan tidak memiliki nilai tertentu
Ali,
Yusril. t-th. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Amien,
Miska Muhammad. 1983. Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam. Jakarta: UI-Press.
Dahlan,
Abdul Aziz. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Hadi,
Saiful. 2003. 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah. Jakarta: Insan
Cemerlang.
Hoodbhoy,
Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme, antara Sains dan Ortodoksi
Islam, Terjemahan Sari Meutia. Bandung: Mizan.
Husain,
Sayyid Sajjad, Sayyid Ali Ashraf. 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan
Islam. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Gema Risalah Press.
Iqbal,
Muhammad. 2003. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta:
Intimedia & LadangPustaka.
Mustofa,
A. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution,
Harun. 2008. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat
Islam. Jakarta: Radar Jaya.
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syarif,
M.M (editor).1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.